Review film terbaru 2017, SPLIT

Selasa, 14 November 2017
Split adalah film yang akhirnya menunjukkan kembali kapabilitas M. Night Shyamalan dalam menggarap film thriller yang tenang dan intim tapi mencekat. Memulai karir mainstream lewat The Sixth Sense yang sukses besar dengan twist-nya yang sensasional, lalu disusul dengan film lain yang serupa, Shyamalan begitu identik dengan tukang twist, hingga sebagian penggemar tetap mencoba menemukan twist dalam Signs (kabarnya, mereka masih mencari hingga saat ini) dan ada pula yang gusar karena twist dalam The Village sudah bisa tertebak bahkan sebelum menontonnya. Saya yakinkan anda bahwa dua skenario tadi takkan terulang. 

sinopsis split 2017
Review film Split bukan hanya sekedar mengenai twist, meski filmnya masih memiliki itu, namun lebih kepada apa yang dulu membuat film-film Shyamalan begitu mengena, yaitu akting dan pembangunan atmosfer. Maksud saya soal akting disini bukan penampilan serius seperti kontemplatifnya Mel Gibson sebagai mantan pastur dalam Signs atau subversifnya Haley Joel Osmen sebagai anak yang dihantui dalam The Sixth Sense, melainkan dalam konteks yang lebih absurd. Sebagai tokoh utama, James McAvoy tak tanggung-tanggung untuk tampil sinting sesuai dengan kebutuhan plot. 

Tunggu, review film Split bahkan hanya punya plot yang tipis. Durasi yang panjang sebagian besar dihabiskan bagi pendalaman tokoh yang karakteristiknya seunik yang pernah diciptakan Shyamalan dalam Unbreakable. Dan selagi ini berlangsung, Split menebarkan nuansa mencekam melalui gimmick kecil, dialog dan aspek teknis yang minimalis. Well, kecuali bagian klimaks dimana Shyamalan dan McAvoy masuk dalam mode gila-gilaan. 

Kita pertama kali melihat 3 gadis muda. Dua diantaranya adalah Claire (Haley Lu Richardson) dan Marcia (Jessica Sula) yang merupakan anak gaul, sementara satu lagi adalah Casey (Anya Taylor-Joy) yang lebih penyendiri. Ketiganya diculik di siang bolong, tanpa drama, oleh pria botak berkacamata yang mengaku bernama Dennis (McAvoy). Ketiganya kemudian terbangun dalam sebuah bunker tanpa jendela, gelap, sempit, dan kumuh namun punya kamar mandi yang kinclong. 

Seiring berjalannya waktu mereka menyadari ada yang tak beres dengan pria ini. Kadang ia bersikap ramah, kadang tegang, kadang feminin, kadang kekanakan. Dan mereka pasti belajar sesuatu dari Psycho atau Identity atau Fight Club, sehingga bisa menyimpulkan bahwa sang pria mengidap "Dissociative Identity Disorder" (DID) alias kepribadian ganda. Oh, "ganda" kurang tepat, karena Dennis ternyata adalah salah satu dari 23 kepribadian yang mendiami tubuh pria yang aslinya bernama Kevin ini. 

Dua kepribadian yang paling dominan adalah Dennis yang obsesif-kompulsif serta Patricia yang dari namanya saja sudah ketahuan gendernya. Ada pula Barry sang desainer fashion serta Hedwig yang merupakan seorang anak yang masih berumur 9 tahun. Mereka punya pembawaan dan kebiasaan yang berbeda, dan McAvoy bersenang-senang dalam memainkannya. Tak hanya fisik dan pakaian, ia juga menampilkan perubahan mimik, aksen, hingga gestur, kadangkala dalam sekejap di satu scene. Saat ia menjadi Patricia saya percaya ia adalah seorang wanita, saat ia menjadi Hedwig saya percaya ia adalah anak-anak yang masih polos. 

Ketegangan timbul dari usaha para gadis-gadis tadi untuk kabur, sementara mereka tak tahu sedang dimana dan berhadapan dengan siapa. Gambar gelap dan close-up dari sinematografer Mike Gioulakis (It Follows) menciptakan suasana klaustrofobik. Claire dan Marcia adalah Cewek Calon Korban Standar Film Horor yang mengharuskan mereka berteriak dan membuat keputusan bodoh, namun Casey beda cerita. Ia terlihat lebih tenang dengan mencoba memanipulasi salah satu kepribadian agar bisa bebas. Ia tampaknya sudah berpengalaman.

Dengan 3 sandera di bunker, Barry kadang-kadang mengunjungi psikolog Dr. Fletcher (Betty Buckley) untuk berkonsultasi soal kondisi mentalnya. Ia pernah bercerita soal "The Beast", kepribadian ke-24 yang katanya sangat kuat dan juga kejam, yang menurut Dr. Fletcher hanyalah imajinasi semata. Namun Dr. Fletcher percaya bahwa DID tak hanya mengubah kondisi psikis penderita namun juga fisiknya (kabarnya pernah ada pasien DID buta yang bisa melihat karena salah satu kepribadiannya tidak buta). Saya bukan pakar psikologi, tapi saya berasumsi Shyamalan melebih-lebihkannya untuk menggerakkan cerita. Lagipula, saya tak yakin ada yang menganggap film ini akan menjadi potret akurat dari DID. Absurditas di puncak diambil langsung dari film horor.

Shyamalan membuat kita lebih memperhatikan karakter, alih-alih teralihkan untuk menemukan twist. Melalui banyak flashback yang penempatannya harus diakui terkadang menggoyahkan pace, film ini mengkondisikan kita untuk melihat Kevin sebagai manusia, anak yang terluka karena trauma masa kecil. Lalu ada Casey, yang punya masa lalu yang tak jauh berbeda dibanding Kevin. Meski terkesan seperti eksposisi permisif, ini memberikan motif dan logika di balik tindakan mereka. Taylor-Joy yang pernah tampil mengesankan dalam The Witch, memberi kesan misterius sekaligus tangguh. 

Film ini punya pengungkapan besar di epilog. Kalaupun Shyamalan berniat mengakhirinya lebih cepat, Split masihlah merupakan film thriller mencekam yang punya build-up cukup solid. Namun sang sutradara punya trik tersembunyi lain. Ia menalikan film ini lewat epilog yang takkan saya ungkap disini, yang menjadikannya sesuatu yang ... berbeda. Petunjuknya sudah terpampang dengan jelas, namun misdireksi membuat kita melewatkannya. Saya hanya akan bilang bahwa anda harus menonton satu film lama Shyamalan . ■UP